Mozaik Seni Budaya

Generasi muda yang ingin menambah wawasan seni budaya, dan musik, di sini tempatnya (Poltak Sinaga)

Rabu, 25 April 2012

Musik Keroncong Sudah Ompong


Oleh Poltak Sinaga


Musik keroncong adalah sejenis orkes dengan formasi alat-alat musik seperti, biola, flute, gitar melodi, ukulele (cuk), banyo, cello dan contrabas. Irama musiknya berupa permainan mono ritmik dari beberapa alat musik yang dijalin dengan kendangan secara improvisatif.  Sedang pada vokal (penyanyi), terdapat penggunaan cengkok yang fleksibel dengan teknik glisando.
Musik Keroncong berakar dari gaya akulturasi tradisional yang berkembang menjadi gendre populer.  Perkembangan jenis musik ini erat kaitannya dengan dunia maritim, percampuran etnis dan ras, masyarakat kalangan bawah.  Musik Keroncong di kenal di Indonesia pada Abad 16 sejalan dengan masuknya para pelaut Portugis.  Situasi ini terjadi di banyak tempat termasuk di semenanjung Malaka, Maluku, Batavia, India, Pantai-pantai  Afrika, dan lain-lain. Dalam kaitan ini yang terlibatpun bukan hanya orang-orang Portugis asli, akan tetapi juga orang-orang Portugis keturunan, India, Cina, Afrika, Eropa Barat, dan Melayu sehingga kadar musik keroncong itu merupakan sinkretisasi banyak unsur musikal.
Pada Abad 18 musik keroncong menjadi sangat populer di kampung-kampung dan daerah pelabuhan di kalangan masayarakat kosmopolit sebagai salah satu musik hiburan.  Kemudian di masa awal kemerdekaan film-film mulai memanfaatkan musik keroncong sebagai upaya unruk menarik perhatian masyarakat luas. Banyak para komposer (pencipta lagu) pada masa itu beralih ke jenis musik keroncong sebagai medium yang nasionalistik, dimana pada saat itu banyak orang yang menolak unsur asing, sehingga kedudukan bahasa Melayu yang dominan pada masyarakat urban menjadikan musik keroncong menjadi sangat merakyat sebagai budaya sendiri. Bahkan ketika Jepang berkuasa di Indonesia, musik keroncong aman-aman saja, ketika Jepang melarang peredaran musik populer asing. Pada hal di sisi lain peranan musik keroncong sangat dominan dalam menaikkan rasa nasionalisme pada masa itu.
Perkembangan berikutnya setelah tahun 1945,  terjadi banyak eksperimen yang melingkari musik keroncong yang melibatkan ekspansi ke musik populer lain, termasuk inkorporasi dengan ritem-ritem musik Latin. Dalam bisnis penjualan kaset rekaman musik yang muncul di akhir tahun 1960-an, musik keroncong menjadi salah satu genre pop yang penting dalam penjualan kaset. Popularitas musik keroncong juga masuk ke club-club hiburan malam di Singapura, Bangkok, Manila, dan Hongkong. Untuk Indonesia berkembang hibridasi keroncong dengan elemen regional  termasuk bahasa dan teknik musikal yang berasal dari karakter tradisi setempat.

Gaya dan Struktur Komposisi

Istilah keroncong sering dikaitkan dengan instrumen jenis ukulele atau cuk yang tercakup dalam fomasi ensambel. Keseluruhan ensambel terdiri dari instrumen kordofon Barat seperti, keroncong, gitar, biola, cello, flute dan perkusi ringan yang mengiringi vokal atau bermain secara instrumental. Perjalanan vokal kadangkala dengan karakter free rhytmic dipandu musik iringan yang dipatokkan pada medium tempo dengan ritem yang quadratis.  Biasanya gaya vokal dipengaruhi teknik bernyanyi bel canto yang mengandung vibrato, dengan loncatan-loncatan sentimental dan appogiatura. Dalam keroncong asli, instrumen musik petik yang biasanya mengusung progresi harmonik. Sementara biola dan flute mengimbuhnya dengan melodi improvisasi dan sesekali dengan heterofoni dengan jalur melodi vokal.  Kebanyakan lagu-lagu keroncong dibawakan dalam skala mayor dan minor dengan harmoi yang sederhana atau dengan akor-akor pokok, namun progresi harmoniknya sangat unik dan tidak terlalu menuruti ekspektasi aturan harmoni musik Barat.
Dalam kesederhanaan harmoninya, pada musik keroncong penggunaan alat musik dawai sebagai akompanyemen, gaya bernyanyi yang crooming terasa adanya tarik menarik antara gaya keroncong dengan musik fado dari Portugis.  Keterlibatan corak musik ini dengan hal-hal yang berbau maritim membuat kita memikirkan bahwa evolusi kedua genre ini mungkin ada interelasi.  Namun dalam perkembangannya mengalami perbedaan kontak lingkungan, kalau fado tetap dalam situasi yang semakin membarat, sementara keroncong pada masa perkembangannya banyak mengalami gamelanisasi.
Dari kenyataan-kenyataan di atas dapat diketahui bagaimana pentingnya dan panjangnya perjalanan perjalanan musik keroncong dalam khasanah musik Indonesia.  Namun kenyataannya sekarang musik keroncong nyaris tak terdengar lagi.  Penayangan jenis musik ini baik melalui siaran radio maupun televisi terasa sangat minim.  Fenomena ini mengisyaratkan bahwa musik keroncong telah mengalami krisis penggemar.  Kenyataannya hanya kaum tua yang masih gemar mendengar musik keroncong.  Akankah musik keroncong ini akan mati dan terkubur?
Kekhawatiran akan tragedi ini sebenarnya sudah dirasakan oleh para pemusik dan pencinta keroncong.  Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi HAMKRI (Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia).  Tetapi karena sesuatu dan lain hal organisasi ini seakan berjalan di tempat.  Kondisi ini menjadi sebuah kekhawatiran di tengah derasnya gelombang musik pop. Musik keroncong semakin tak berdaya dan ompong.

Sabtu, 14 April 2012

Jazz...


Oleh Poltak Sinaga
 
 Pada awal Abad 19, di Amerika Serikat bagian selatan, jazz mulai terdengar. Lagu-lagu bergema dari gubuk-gubuk di tengah perkebunan  kapas, di tepi sungai, dan berbagai lokasi pemukiman kaum budak. Lagu-lagu dalam bentuk vokal tersebut merupakan  manifestasi kehidupan kaum budak dengan alam sekitar dengan sang pencipta. Lagu-lagu tersebut berisi keluhan, ratapan nasib, penderitaan hidup dan segala kesengsaraan yang hina-dina. Kemudian lagu-lagu tersebut berkembang menjadi sarana hiburan yang dapat melampiaskan segala penderitaan menuju bentuk musik yang kemudian mengemban misi sosial masyarakat lingkungannya.
Nyanyian-nyanyian tersebut kemudian dilengkapi dengan instrumen-instrumen musik bekas dari tentara-tentara, seusai perang saudara Amerika pada pertengahan Abad 19.  Pada masa awal alat-lat musik tersebut dimainkan seadanya saja menurut insting atau spontanitas yang memainkan.  Sejak itu musik vokal lambat laun berubah bentuk dari dasar vokal dengan sistem skema ritmis nada-nada vokal, kepada dasar penggunaan instrumen dengan sistem skala nada diatonis Barat.  Kemudian diperkaya dengan penggunaan nada akar blue note yang terbawa dari sumbernya yaitu dari Swahili, Afrika Tengah.  Generasi awal berkembang hampir seratus tahun, sampai kemudian melahirkan bentuk-bentuk musik yang baku dengan menggunakan pola teknis Eropa, termasuk musik tradisional Prancis, tetapi dengan kandungan serta ekspresi dari ritmis Afrika.
Pembauran musik tersebut banyak terdapat di bagian selatan pantai Lousiana dan Missisippi, yang kemudian dikenal dengan nama, bluez, minstrell, ragtime, dixie, charleston, creol jazz, serta banyak lagi sistem sinkopasi yang memberi kesan aksen-aksen yang menjadi cikal bakal jazz.  Pada periode ini musik jazz mulai merambah ke Amerika Tengah dan terus ke utara.  Kehadiran musik jazz mulai menarik perhatian para musisi kulit putih, yang kemudian terlibat untuk menyempurnakannya dengan pengetahuan baku dari pendidikan musik yang diperoleh dari Eropa. Berkat adanya sentuhan penyempurnaan ini, musik jazz dengan sendirinya telah memasuki jalur pengembangan teknis menurut sistem pendidikan sehingga melahirkan keahlian sistem penulisan, teknik bermain, pola permainan kelompok sebagaimana halnya dengan musik Barat.  Namun tetap mempertahankan dan mewadahi ekspresi jiwa dan ritme yang berakar dari musik tradisional Afrika.
Musik Jazz merupakan seni cangkokan, karena salah satu sumbernya adalah musik Afrika Barat dan Karibia.  Meskipun beberapa peneliti musik menyebutkan bahwa sumber musik jazz adalah musik primitif dari kedua kawasan itu, sering diabaikan begitu saja secara sepihak, terutama dalam sejarah musik jazz.  Sebagian beranggapan bahwa musik Eropa dan Amerika Utaralah yang justru melahirkan musik jazz.  Di sisi lain musik populer dan klasik bangsa Spanyol serta Prancis sangat mempengaruhi perkembangan musik jazz.  Harus diakui bahwa New Orleans pernah berada dalam kekuasaan Prancis.
“Nenek Moyang” musik jazz secara langsung adalah musik rakyat kulit hitam (Negro), seperti lagu-lagu kerja (work song), lagu-lagu spiritual, lagu-lagu perkebunan, dan bluez, ragtime baik dalam bentuk fomal (komposisi untuk piano), maupun dalam bentuk yang lebih bebas dari pemusik jalanan, atau kelompok musik tiup (brass).  Kemudian dapat dilihat pada bentuk-bentuk yang banyak bermain dalam pleasure club, yakni kelompok atau organisasi persaudaraan yang pada masa itu banyak dijumpai di New Orleans.
Meskipun ada anggapan bahwa musik jazz lahir di Chicago, namun New Orleans merupakan satu-satunya kota yang layak dan pantas mengklaim bahwa jazz lahir di kota itu. Karena beberapa perintis dan pelopor musik jazz  yang sangat terkenal seperti, Louis Amstrong dan King Oliver lahir dan besar di kota New Orleans.  Kota ini dapat dikatakan sebagai kota pembibitan musisi jazz yang cukup penting dan hampir semua unsur yang mendukung terbentuknya jazz terdapat di kota ini.

Era Swing

Munculnya gaya swing dalam jazz ternyata dapat mengangkat harkat musik ini ke tingkat yang lebih terhormat.  Kalangan musisi kulit putihpun mulai ikut memainkan musik jazz. Munculnya gaya swing ke dalam jazz diperkirakan tahun 1928 ketika Jely Roll Morton membuat rekaman Georgia Swing dan Kansas City Stomp.  Kemudian diperkuat oleh Duke Ellington pada tahun 1932 dalam album, If Don’t a Thing atau If It Ain’t Got That Swing bersama tokoh jazz termahsyur lainnya seperti, Johnny Hodges, Barney Bigard, Harry Carney, dan Otto Hardwicke, kelompok saksofon yang kemudian unsur penting dalam swing.
Swing dalam bahasa musikal adalah bermain dengan perasaan ritmis, perasaan yang membutuhkan semacam kesinambungan metris yang agak miring, yang sebenarnya sukar diekspresikan dalam notasi musik.  Irama swing dapat disebut sebagai trick interpretatif sebab swing sukar diuraikan dengan rumusan yang jelas dan rapi. 

Jumat, 13 April 2012

Kilas Alat Musik


  

Oleh Poltak Sinaga

Alat-alat musik (instrumen) berperan sebagai medium yaitu alat pengantar/penyalur ide-ide komponis dalam suatu komposisi yang ditulis dalam bentuk partitur (tulisan musik). Dalam hal ini pemain musik melalui alat musiknya mewujudkan partitur dalam bentuk nada-nada aktual. Dengan kata lain si pemain menerjerjemahkan simbol-simbol yang tertulis  ke ujud nada fisikal melalui medium  berupa satu atau beberapa instrumen. Pada musik vokal, si penyanyi sekaligus berperan sebagai pemain dan medium.
Instrumen musik telah ada sejak manusia mengenal peradaban, dimana setiap suku bangsa (etnik) di seluruh penjuru dunia masing-masing memiliki musik etnik yang peran dan fungsinya berkaitan dengan siklus kehidupan masyarakatnya.  Musik berperan sebagai medium dalam berbagai upacara ritual baik yang bersifat magis, adat-istiadat maupun hiburan.
Alat-alat musik sepanjang perjalanan sejarah kebudayaan senantiasa berkembang kendati dengan dinamika yang sangat lambat (evolusi) dari bentuk yang paling sederhana hingga pada bentuk baku seperti sekarang ini, yang sangat beragam baik bentuk, bahan, cara memainkan, karakter suara, dan berbagai spesifikasi lainnya.
Klasifikasi instrumen musik dilakukan untuk menentukan dan mengelompokkan konsep-konsep yang memungkinkan penyusunan spektrum dari berbagai alat musik pada tingkat yang lebih bermakna.  Selain untuk kepentingan permuseuman  pengelompokan alat-alat musik sangat penting dalam studi orkestrasi. 
Dengan mengaplikasikan berbagai bidang studi musik, dapat ditentukan hubungan antara kualitas, akustika, aspek-aspek konstruksi terhadap teknik memainkan suatu instrumen. Dalam hal klasifikasi instrumen di antara para ahli musik terdapat beberapa perbedaan pendapat.  Perbedaan pendapat tersebut merupakan sesuatu yang lazim, karena setiap ahli dalam melakukan klasifikasi instrumen cenderung didominasi oleh kepentingan masing-masing. Juga dikarenakan adanya kecenderungan dalam penelitian alat-alat musik lebih berorientasi kepada perluasan pandangan dalam konteks prespektif permuseuman, yaitu konsentrasi kepada objek yang dapat dipajangkan dalam pameran, dengan maksud untuk memperlihatkan  aloat-alat musik sebagai objek yang dipakai dalam penelitian tersebut.
Pada masa Yunani Kuno (1100 SM hingga 300 tahun SM), klasifikasi alat-alat musik dibagi dalam 3 kategori yaitu, (1) instrumen musik tiup, (2) instrumen musik berdawai, dan (3) instrumen musik perkusi. Selanjutnya intrumen tiup kayu (wood wind) dan logam (brass), instrumen berdawai (yang memiliki senar) dipilah-pilah ke dalam bagian instrumen yang digesek (bowed), instrumen petik (pluked), dan instrumen yang menggunakan keyboard. Klasifikasi ini dianggap tidak praktis karena tidak berpedoman kepada prinsip tertentu. Jika dianalisa proses pengklasifikasiannya, ada pengelompokkan yang dilakukan dengan berpedoman pada cara memainkannya, ada pula pengelompokkan yang dilakukan dengan memperhatikan media atau bahan yang menghasilkan bunyi.
Klasifikasi instrumen musik yang modern dirintis oleh Victor Mahillon (1841-1924) yang bekerja pada Instrumental Museum of The Conservatiore Royal de Musique, Brusels, Belgia, sejak didirikan pada tahun 1877. Koleksi dasar museum ini pada umumnya terdiri dari instrumen musik yang dipakai dan terdapat pada orkes simfoni Eropa. Kemudian berkembang dengan memasukkan instrumen-instrumen musik dari sebagian besar kawasan dunia. Tujuan dari sistem Mahillon pada masa itu adalah untuk menginventarisir atau mengkalogkan keseluruhan koleksi instrumen musik yang berangsur-angsur semakin banyak hingga berkisar tiga ribu jenis.


Dasar klasifikasi instrumen musik yang dilakukan oleh Vivtor Mahillon berprinsip pada pembagian instrumen musik yang telah ada pada tulisan Hindu Kuno yang mana di dalamnya terdapat empat kelas dasar, yaitu: (1) instrumen musik pukul, (2) instrumen musik yang mempunyai membran (berhubungan dengan cara merenggangkan kulit dimulut gendang), (3) instrumen musik berongga atau instrumen musik tiup, dan (4) instrumen musik berdawai (alat musik yang memiliki senar).
Mahillon membagi alat musik perkusi (pukul) ke dalam dua kelompok sub divisi yaitu, autophones (autofon) yang terdiri dari alat musik yang badannya sendiri menghasilkan suara apabila dibunyikan dengan alat penggetar, dan membranophones (membranofon) yaitu berdasarkan hasil suara yang disebabkan oleh getar membrannya, saeperti kulit gendang.
Prinsip-prinsip divisi dalam klasifikasi instrumen, masih berpedoman pada sistem Mahillon. Kemudian sistem- sistem tersebut disusun dalam hirarki-hirarki dengan sejumlah level yang terdiri dari : kelas, cabang, seksi, dan sub seksi. Dimana media yang memproduksi bunyi merupakan dasar pada devisi dan mewakili sebuah prinsip dari divisi suatu instrumen.
Mahillon-Sachs-VonHornbostel membuat pengelompokan atau klasifikasi instrumen berdasarkan bahan yang memproduksi suara, dan terbatas pada aspek akustik.  Klasifikasi tersebut terbagi dalam 5 kelompok yaitu :
1.      Idiofon (bahan alat musik itu sendiri yang menghasilkan bunyi).
2.      Aerofon (udara atau satuan udara yang berada dalam alat musik itu sebagai sumber bunyi).
3.      Membranofon (kulit atau selaput tripis yang direnggangkan sebagai sumber bunyi).
4.      Kordofon (senar/dawai yang ditegangkan sebagai sumber bunyi).
5.      Elektofon (alat musik yang ragam bunyi atau pegeras suaranya dibantu atau diproduksi oleh daya listrik).

Kilas Musik Seriosa


Musik seriosa merupakan salah satu jenis musik modern di Indonesia yang berasal dari jenis musik lied (Jeman) atau art song (Inggris).  Musik seriosa mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1950-an  sejalan dengan penyelenggaraan pemilihan Bintang Radio dan Televisi (BRTV).  Komposisi dan penyajian musik seriosa persis dengan jenis lied dimana lagu dan musik iringannya telah menyatu.  Biasanya lagu-lagu seriosa diiringi oleh piano namun ada juga dengan iringan ensambel atau orkes.
Untuk dapat membawakan lagu-lagu seriosa dengan baik, membutuhkan suatu persyaratan yang mencakup, kemampuan teknik vokal yang baik karena lagu-lagu seriosa merupakan adaptasi dari jenis lagu lied di Jerman atau art song di Inggris,  merupakan bentuk nyanyian tunggal dengan iringan piano, yang dapat dinyanyikan dengan baik setelah terlebih dahulu menguasai teknik-teknik vokal. Teknik-teknik vokal tersebut mencakup, teknik produksi suara yang membahas berbagai hal yang erat kaitannya dengan organ-organ tubuh yang berkaitan dengan produksi suara seperti pernafasan, sumber bunyi, gema suara, dan artikulasi.
Keberadaan  Sekolah Menengah Musik, Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan seni musik memiliki fungsi dan peranan penting dalam perkembangan musik seriosa. Di sisi lain para komponis Indonesia telah berupaya menciptakan lagu-lagu seriosa untuk melengkapi khasanah repertoar (buah musik) untuk spesialisasi vokal.
  Lagu-lagu seriosa Indonesia yang dipakai sebagai buah musik dalam spesialisasi vokal tersebut berdasarkan tema syairnya  dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu : 
1.      Mengisahkan tentang keindahan alam seperti, Irama Desa (karya  Iskandar), Fajar Harapan (karya Ismail Marzuki),  Senja di Pelabuhan Perahu (karya Mochtar Embut),  dan lain sebagainya.
2.      Mengisahkan hal percintaan seperti, Sandiwara (karya Mochtar Embut),  Lumpur Bermutiara (karya Surni Wakirman),  Bagi Kekasih (karya Binsar Sitompul), O, Angin (karya Cornel Simanjuntak),  Lagu Pujaan (karya Iskandar), dan lain sebagainya.
3.      Mengisahkan tentang patriotisme (kepahlawanan) seperti, Lagu Untuk Pahlawan (Karya FA. Warsono),  Fajar Harapan (karya Ismail Marzuki), Melati di Tapal Batas (karya Ismail Marzuki), dan sebagainya.
Lagu-lagu tersebut digubah atau diciptakan dengan mengacu kepada lagu-lagu lied atau art song, baik dalam tingkat kesulitan maupun penggarapan musik iringan, sehingga lagu-lagu seriosa dapat disejajarkan dengan  lied atau art song.  Misalnya, lagu Irama Desa karya Iskandar dapat disejajarkan dengan Arie Antiche (lagu-lagu dalam bahasa Italia) dan Caro Mio Ben karya Giordani.  Lagu Mekar Melati karya Cornel Simanjuntak dapat disejajarkan dengan lagu O Cessate di Piargarmi karya A. Scarlatti.  Lagu Malam Indah karya Syafii Embut, dapat disejajarkan dengan lagu, Victoria-Victoria Mio Core karya  Carissimi, dan sebagainya.

Perkembangan Musik Seriosa
Secara historis kultur musik modern di Indonesia mulai terlihat ketika orkes HIK Xaverius Kolage di Muntilan, Jawa Tengah pada tahun 1935 dengan lebih dari 60 orang pemain, berkarya dan mempergelarkan karya-karya komposer Schubert, Beethoven, Borodin, dan berbagai karya komposer lainnya dibawah asuhan J. Schouten. Sitompul (1987 : 19) mengemukakan, bahwa J. Schouten sering menyanyikan komposisi musik vokal dari berbagai zaman sekaligus memainkan iringan pianonya dengan sangat mengesankan.
Perkenalan lagu-lagu Schubert dan berbagai karya komposer lainnya sebagaimana dilakukan oleh Schouten, berhasil menanamkan pemahaman yang mendalam pada para siswa HIK Xaverius Kolage seperti,  Cornel Simanjuntak, Binsar Sitompul, dan seluruh siswa sekolah tersebut. Pada tahun-tahun pertama di Muntilan (1935) Cornel Simanjuntak telah memperlihatkan kemampuannya untuk menggubah berbagai karya sastra dari beberapa pujangga Indonesia seperti, Amir Hamzah dan Sanusi Pane menjadi  beberapa lagu seriosa yang terhimpun dalam buku, Madah Kelana.  Kemudian setelah itu  Cornel Simanjuntak menggubah sajak-sajak, O Angin, Kemuning, dan Wijaya Kusuma, menjdi lagu-lagu seriosa yang sangat digemari oleh pencita lagu-lagu seriosa.
Komponis lainya yang banyak menciptakan lagu-lagu seriosa adalah, Binsar Sitompul, Mochtar Embut, Iskandar, Ismail Marzuki, Surni Wakirman, FX.Sutopo, Syafii Embut, FA.Warsono, dan sebagainya. Karya-karya para komponis Indonesia tersebut menjadi bahan dalam studi vokal di berbagai sekolah musik di Indonesia.
Melihat keberadaan dan perkembangan lagu-lagu seriosa Indonesia, dapat dikatakan bahwa jenis lagu-lagu ini tidak begitu digemari oleh seluruh lapisan masyarakat.  Penggemarnya hanya  terbatas pada segmen tertentu saja yaitu para siswa atau mahasiswa jurusan musik serta sebagian kecil masyarakat. 

Nahum Situmorang, Dahulu dan Sekarang


Oleh Poltak Sinaga

Ungkapan bijak mengatakan, seseorang yang tengah berlindung dan berteduh di bawah suatu pohon rindang saat terik menyengat, wajar dia mengucapkan terimakasih pada si penanam pohon itu. Bila seseorang tengah menikmati alunan lagu-lagu yang mampu menyejukkan hati atau menghiburnya, wajar  dia mengucapkan terimakasih pada komponisnya. 
Nahum Situmorang (foto) banyak menanam pohon kesejukan yang menghasilkan buah-buah segar seiring karya musiknya  yang tetap digemari.  Di sisi lain banyak penyanyi pop dari kalangan etnik Batak maupun etnik lainnya yang meraup keuntungan, memetik buah-buah segar karya Nahum  demi kekayaan pribadi.  Namun ungkapan terimakasih dari sejumlah penyanyi dan musisi yang meraup banyak keuntungan materi itu, nyaris tak terdengar. Pusara Nahum Situmorang hingga kini masih tetap berada di balik debu dan deru  suara hingar bingar kenderaan kota Medan.  Keadaan ini menunjukkan suatu fenomena ketidakpedulian.  Pada hal,  Nahum senantiasa menanti jawaban atas harapan yang mengiinginkan pusaranya dipindahkan ke bonapasogit (kampung halaman) di Pulau Samosir sebagaimana terpatri di dalam lagu berjudul, Pulo Samosir.

      “Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”. (Artinya, jika nanti aku mati, camkanlah bahwa jasadku akan  kau makamkan di Pulau Samosir, di sanalah pusaraku). Benarkah ?

 Sejarah atau riwayat hidup orang penting cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu pula halnya dengan biografi dan berbagai anekdot para komponis legendaris, menjadi sangat menarik karena popularitasnya. Hal ini dapat menjadi cerminan, dan menjadi suatu kontribusi yang sangat berarti terhadap perkembangan apresiasi musik, pemberi warna  terhadap kepustakaan musik dunia.  Ragam informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatifnya yang meliputi berbagai fenomena sosiomusikologis pada masa tertentu, termasuk perkembangan teknik berkomposisi serta teknik bermain musik yang mencakup berbagai aspek yang merupakan bagian dari elemen musik.
Dari sejumlah komponis legendaris dari tanah Batak,  salah satu di antaranya adalah Nahum Situmorang, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Pebruari 1908.  Sejak kecil bakat musiknya telah terlihat. Tahun 1924  Nahum melanjutkan sekolahnya di Kweek School Jakarta, kemudian pindah ke Lembang, Bandung dan tamat tahun 1928.
Rasa kerinduan dan kecintaannya pada kampung halaman (bonapasogit), yakni kawasan danau Toba yang mengelilingi pulau Samosir dengan segala pesona keindahannya, serta siklus kehidupan keseharian masyarakatnya, menjadi sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi Nahum dalam berkarya. Lagu-lagu Nahum menjadi sangat populer baik di kalangan etnik Batak Toba, skala nasional, maupun mancanegara.  Deretan judul lagu-lagu itu di antaranya, O Tao Toba, Lissoi, Pulo Samosir, Sitogol, Unang Sumolsol Dipudi, Molo Borngin Di Silindung, Beha Pandundung Bulung, Anakhonhido Hamoraon di Au, Huandung Ma Damang, Sai Tudia Ho Marhuta, Silindung Najolo, Sai Gabe Maho, Sapatani Napuran, Tumagon Nama Mate, Ala Dao, Molo Sautma Ho Lao tu Nadao, Holongni Rohamdo Sinta-sinta di Au, Ndada Tartangishon, Si Singamangaraja, Timbo Dolok Martimbang, Alani Ho, Manukni Silangge, Situmorang Nabonggal, dan masih banyak lagi hingga berkisar 120 lagu.
Ternyata aktivitas Nahum tidak terbatas pada kegiatan musik.  Pada tahun 1928, Nahum ikut dalam barisan Perintis Kemerdekaan sebagai anggota pada Kongres Pemuda, dan pada tahun yang sama mengikuti   Lomba Cipta Lagu Kebangsaan Indonesia yang pada masa itu dimenangkan oleh WR. Soepratman. Lagu karya Nahum berada di posisi runner up (urutan ke dua) dari sejumlah peserta lomba.  Kemudian tahun 1929, Nahum pindah ke Sibolga, bekerja sebagai guru di Bataksche Studiefond hingga tahun 1932. Pada tahun yang sama Nahum pindah ke Tarutung dan mendirikan sekolah yang diberi nama, Wester Langer Onderwijs.  Sekolah ini hanya bertahan hingga kedatangan tentara Jepang tahun 1942.  Sepanjang hayatnya Nahum Situmorang tidak mau bekerja sebagai pegawai pada pemerintahan Belanda, kendati peluang untuk itu terbuka lebar.  Nahum dikenal sebagai seorang yang berjiwa nasionalis dengan sikap kemandirian yang kuat.
Di sela-sela kehidupannya sebagai seorang guru, Nahum tetap kreatif menciptakan lagu-lagu dalam berbagai ragam irama.  Tahun 1936, Nahum menjadi pemenang dalam Lomba Cipta Lagu, Sumatera Kerontjong Concours yang diselenggarakan di Medan. Tahun 1949,  Nahum pindah ke Medan, di sini ia lebih leluasa untuk bernyanyi dan berkarya. Dalam pergaulan sehari-hari Nahum dikenal memiliki pribadi yang sangat luwes dan sangat digemari di lingkumgan pergaulannya karena didukung oleh kepiawaiannya bermain musik dan bernyanyi.
Lagu berjudul, Lissoi diciptakannya saat menikmati minuman tradisional Batak Toba (tuak) yaitu, minuman berkadar alkohol yang bersumber dari kelapa. Minuman tersebut setiap hari atau malam dihidangkan di Pakter Tuak (warung minuman tuak). Dalam situasi keramaian seperti itu, Nahun sanggup mengubah lagu berikut syair dengan kualitas komposisi yang sangat mengagumkan. Lagu Lissoi yang diciptakan dalam suasana keramaian diantara parmitu ( parminum tuak) yang berarti peminum tuak merupakan salah satu karya Nahum yang sangat populer hingga sekarang, bukan saja di kalangan masyarakat Batak, akan tetapi merambah keseluruh lapisan masyarakat bahkan ke manca negara.
Sekitar tahun 1950-an, Nahum Situmorang mendirikan grup musik yang disebutnya dengan Nahum’s Band. Grup ini pada umumnya membawakan lagu-lagu karya Nahum. Nahum’s Band sangat populer di kalangan masyarakat Batak. Pada masa itu mereka banyak mendapat tawaran untuk mengisi acara-acara hiburan di kalangan masyarakat maupun di berbagai instansi pemerintahan. Pada tahun 1960,  Nahum’s Band   mengadakan serangkaian pertunjukan musik di Jakarta.  Dalam setiap pertunjukan mereka mendapat sambutan yang sangat meriah terutama dari kalangan komunitas Batak Toba yang bermukim di Jakarta.  Nahum’s Band banyak mendapat pujian dan sanjungan dari para pejabat pemerintahan dan dari orang asing (anggota kedutaan) dari berbagai negara yang menyaksikan konser Nahum’s Band. Kendati orang-orang asing tersebut tidak mengetahui makna syair (teks) lagu, namun mereka sangat meresapi komposisi musiknya. Dari rangkaian konser tersebut, banyak tawaran agar Nahum’s Band mengadakan konser musik di berbagai negara, tetapi karena sesuatu hal tawaran itu tidak terlaksana.
Kehidupan Nahum Situmorang tidak sesukses lagu-lagunya.  Nahum gagal dalam bercinta, sang kekasih yang sangat dicintainya jatuh kepelukan pria lain.  Kegagalan ini menjadi beban berat dan menyakitkan bagi Nahum, ia  bertekat untuk tidak bercinta  lagi. Tragedi ini dilukiskan oleh Nahum dalam lagu berjudul, Sai Gabema Ho, Sapatani Napuran, Ala Dao, Molo Sautma Ho Lao Tu Nadao.  Deretan lagu-lagu ini merupakan jeritan hati Nahum atau gambaran cintanya terhadap kekasih yang berpaling itu. Nahum tetap melajang di sepanjang hidupnya.
Lagu-lagu karya Nahum Situmorang tersebar luas ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke mancanegara melalui penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI), dari sejak awal kemerdekaan hingga   tahun 1970-an.  Volume penyiaran lagu-lagu Nahum mendapat porsi yang besar.  Pada masa itu Nahum Situmorang telah merekam lagu-lagunya dalam bentuk Piringan Hitam (PH) di studio rekaman Locananta Indonesia dan studio rekaman Polydor Amerika Serikat, bahkan sebagian lagu-lagunya di terjemahkan dalam bahasa Jerman yang kemudian direkam dalam bentuk PH.
Kreativitas dan produktifitas Nahum dalam menciptakan lagu-lagu mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia.  Nahum mendapat penghargaan sebagai komponis nasional.  Selain itu berbagai piagam penghargaan telah diterima Nahum Situmorang dan penghargaan terakhir yang diterimanya adalah Anugerah Seni dari pemerintah pada tanggal 17 Agustus 1969.  Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 20 Oktober 1969  Nahum meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Karya-karya emasnya menjadi harta karun yang tiada habisnya, menjadi rebutan di kalangan penyanyi Batak. 
Hampir seluruh album rekaman pop Batak, mulai dari penyanyi Eddy Silitonga, Victor Hutabarat,  Rita Butarbutar, Emilia Contesa, Trio Lasidos, Jack Marpaung, Charles Simbolon, Trio Maduma dan sederetan penyanyi pop Batak lainnya selalu menyertakan karya Nahum Situmorang.  Deretan penyanyi ini telah banyak meraup keuntungan yang sangat besar atas karya-karya besar Nahum.  Namun tida terlintas di benak mereka akan keinginan Nahum semasa hidupnya yang jelas berkata, “Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”.