Mozaik Seni Budaya

Generasi muda yang ingin menambah wawasan seni budaya, dan musik, di sini tempatnya (Poltak Sinaga)

Jumat, 13 April 2012

Nahum Situmorang, Dahulu dan Sekarang


Oleh Poltak Sinaga

Ungkapan bijak mengatakan, seseorang yang tengah berlindung dan berteduh di bawah suatu pohon rindang saat terik menyengat, wajar dia mengucapkan terimakasih pada si penanam pohon itu. Bila seseorang tengah menikmati alunan lagu-lagu yang mampu menyejukkan hati atau menghiburnya, wajar  dia mengucapkan terimakasih pada komponisnya. 
Nahum Situmorang (foto) banyak menanam pohon kesejukan yang menghasilkan buah-buah segar seiring karya musiknya  yang tetap digemari.  Di sisi lain banyak penyanyi pop dari kalangan etnik Batak maupun etnik lainnya yang meraup keuntungan, memetik buah-buah segar karya Nahum  demi kekayaan pribadi.  Namun ungkapan terimakasih dari sejumlah penyanyi dan musisi yang meraup banyak keuntungan materi itu, nyaris tak terdengar. Pusara Nahum Situmorang hingga kini masih tetap berada di balik debu dan deru  suara hingar bingar kenderaan kota Medan.  Keadaan ini menunjukkan suatu fenomena ketidakpedulian.  Pada hal,  Nahum senantiasa menanti jawaban atas harapan yang mengiinginkan pusaranya dipindahkan ke bonapasogit (kampung halaman) di Pulau Samosir sebagaimana terpatri di dalam lagu berjudul, Pulo Samosir.

      “Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”. (Artinya, jika nanti aku mati, camkanlah bahwa jasadku akan  kau makamkan di Pulau Samosir, di sanalah pusaraku). Benarkah ?

 Sejarah atau riwayat hidup orang penting cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu pula halnya dengan biografi dan berbagai anekdot para komponis legendaris, menjadi sangat menarik karena popularitasnya. Hal ini dapat menjadi cerminan, dan menjadi suatu kontribusi yang sangat berarti terhadap perkembangan apresiasi musik, pemberi warna  terhadap kepustakaan musik dunia.  Ragam informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatifnya yang meliputi berbagai fenomena sosiomusikologis pada masa tertentu, termasuk perkembangan teknik berkomposisi serta teknik bermain musik yang mencakup berbagai aspek yang merupakan bagian dari elemen musik.
Dari sejumlah komponis legendaris dari tanah Batak,  salah satu di antaranya adalah Nahum Situmorang, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Pebruari 1908.  Sejak kecil bakat musiknya telah terlihat. Tahun 1924  Nahum melanjutkan sekolahnya di Kweek School Jakarta, kemudian pindah ke Lembang, Bandung dan tamat tahun 1928.
Rasa kerinduan dan kecintaannya pada kampung halaman (bonapasogit), yakni kawasan danau Toba yang mengelilingi pulau Samosir dengan segala pesona keindahannya, serta siklus kehidupan keseharian masyarakatnya, menjadi sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi Nahum dalam berkarya. Lagu-lagu Nahum menjadi sangat populer baik di kalangan etnik Batak Toba, skala nasional, maupun mancanegara.  Deretan judul lagu-lagu itu di antaranya, O Tao Toba, Lissoi, Pulo Samosir, Sitogol, Unang Sumolsol Dipudi, Molo Borngin Di Silindung, Beha Pandundung Bulung, Anakhonhido Hamoraon di Au, Huandung Ma Damang, Sai Tudia Ho Marhuta, Silindung Najolo, Sai Gabe Maho, Sapatani Napuran, Tumagon Nama Mate, Ala Dao, Molo Sautma Ho Lao tu Nadao, Holongni Rohamdo Sinta-sinta di Au, Ndada Tartangishon, Si Singamangaraja, Timbo Dolok Martimbang, Alani Ho, Manukni Silangge, Situmorang Nabonggal, dan masih banyak lagi hingga berkisar 120 lagu.
Ternyata aktivitas Nahum tidak terbatas pada kegiatan musik.  Pada tahun 1928, Nahum ikut dalam barisan Perintis Kemerdekaan sebagai anggota pada Kongres Pemuda, dan pada tahun yang sama mengikuti   Lomba Cipta Lagu Kebangsaan Indonesia yang pada masa itu dimenangkan oleh WR. Soepratman. Lagu karya Nahum berada di posisi runner up (urutan ke dua) dari sejumlah peserta lomba.  Kemudian tahun 1929, Nahum pindah ke Sibolga, bekerja sebagai guru di Bataksche Studiefond hingga tahun 1932. Pada tahun yang sama Nahum pindah ke Tarutung dan mendirikan sekolah yang diberi nama, Wester Langer Onderwijs.  Sekolah ini hanya bertahan hingga kedatangan tentara Jepang tahun 1942.  Sepanjang hayatnya Nahum Situmorang tidak mau bekerja sebagai pegawai pada pemerintahan Belanda, kendati peluang untuk itu terbuka lebar.  Nahum dikenal sebagai seorang yang berjiwa nasionalis dengan sikap kemandirian yang kuat.
Di sela-sela kehidupannya sebagai seorang guru, Nahum tetap kreatif menciptakan lagu-lagu dalam berbagai ragam irama.  Tahun 1936, Nahum menjadi pemenang dalam Lomba Cipta Lagu, Sumatera Kerontjong Concours yang diselenggarakan di Medan. Tahun 1949,  Nahum pindah ke Medan, di sini ia lebih leluasa untuk bernyanyi dan berkarya. Dalam pergaulan sehari-hari Nahum dikenal memiliki pribadi yang sangat luwes dan sangat digemari di lingkumgan pergaulannya karena didukung oleh kepiawaiannya bermain musik dan bernyanyi.
Lagu berjudul, Lissoi diciptakannya saat menikmati minuman tradisional Batak Toba (tuak) yaitu, minuman berkadar alkohol yang bersumber dari kelapa. Minuman tersebut setiap hari atau malam dihidangkan di Pakter Tuak (warung minuman tuak). Dalam situasi keramaian seperti itu, Nahun sanggup mengubah lagu berikut syair dengan kualitas komposisi yang sangat mengagumkan. Lagu Lissoi yang diciptakan dalam suasana keramaian diantara parmitu ( parminum tuak) yang berarti peminum tuak merupakan salah satu karya Nahum yang sangat populer hingga sekarang, bukan saja di kalangan masyarakat Batak, akan tetapi merambah keseluruh lapisan masyarakat bahkan ke manca negara.
Sekitar tahun 1950-an, Nahum Situmorang mendirikan grup musik yang disebutnya dengan Nahum’s Band. Grup ini pada umumnya membawakan lagu-lagu karya Nahum. Nahum’s Band sangat populer di kalangan masyarakat Batak. Pada masa itu mereka banyak mendapat tawaran untuk mengisi acara-acara hiburan di kalangan masyarakat maupun di berbagai instansi pemerintahan. Pada tahun 1960,  Nahum’s Band   mengadakan serangkaian pertunjukan musik di Jakarta.  Dalam setiap pertunjukan mereka mendapat sambutan yang sangat meriah terutama dari kalangan komunitas Batak Toba yang bermukim di Jakarta.  Nahum’s Band banyak mendapat pujian dan sanjungan dari para pejabat pemerintahan dan dari orang asing (anggota kedutaan) dari berbagai negara yang menyaksikan konser Nahum’s Band. Kendati orang-orang asing tersebut tidak mengetahui makna syair (teks) lagu, namun mereka sangat meresapi komposisi musiknya. Dari rangkaian konser tersebut, banyak tawaran agar Nahum’s Band mengadakan konser musik di berbagai negara, tetapi karena sesuatu hal tawaran itu tidak terlaksana.
Kehidupan Nahum Situmorang tidak sesukses lagu-lagunya.  Nahum gagal dalam bercinta, sang kekasih yang sangat dicintainya jatuh kepelukan pria lain.  Kegagalan ini menjadi beban berat dan menyakitkan bagi Nahum, ia  bertekat untuk tidak bercinta  lagi. Tragedi ini dilukiskan oleh Nahum dalam lagu berjudul, Sai Gabema Ho, Sapatani Napuran, Ala Dao, Molo Sautma Ho Lao Tu Nadao.  Deretan lagu-lagu ini merupakan jeritan hati Nahum atau gambaran cintanya terhadap kekasih yang berpaling itu. Nahum tetap melajang di sepanjang hidupnya.
Lagu-lagu karya Nahum Situmorang tersebar luas ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke mancanegara melalui penyiaran Radio Republik Indonesia (RRI), dari sejak awal kemerdekaan hingga   tahun 1970-an.  Volume penyiaran lagu-lagu Nahum mendapat porsi yang besar.  Pada masa itu Nahum Situmorang telah merekam lagu-lagunya dalam bentuk Piringan Hitam (PH) di studio rekaman Locananta Indonesia dan studio rekaman Polydor Amerika Serikat, bahkan sebagian lagu-lagunya di terjemahkan dalam bahasa Jerman yang kemudian direkam dalam bentuk PH.
Kreativitas dan produktifitas Nahum dalam menciptakan lagu-lagu mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia.  Nahum mendapat penghargaan sebagai komponis nasional.  Selain itu berbagai piagam penghargaan telah diterima Nahum Situmorang dan penghargaan terakhir yang diterimanya adalah Anugerah Seni dari pemerintah pada tanggal 17 Agustus 1969.  Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 20 Oktober 1969  Nahum meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Karya-karya emasnya menjadi harta karun yang tiada habisnya, menjadi rebutan di kalangan penyanyi Batak. 
Hampir seluruh album rekaman pop Batak, mulai dari penyanyi Eddy Silitonga, Victor Hutabarat,  Rita Butarbutar, Emilia Contesa, Trio Lasidos, Jack Marpaung, Charles Simbolon, Trio Maduma dan sederetan penyanyi pop Batak lainnya selalu menyertakan karya Nahum Situmorang.  Deretan penyanyi ini telah banyak meraup keuntungan yang sangat besar atas karya-karya besar Nahum.  Namun tida terlintas di benak mereka akan keinginan Nahum semasa hidupnya yang jelas berkata, “Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar