Oleh Poltak Sinaga
Ungkapan bijak mengatakan, seseorang yang tengah
berlindung dan berteduh di bawah suatu pohon rindang saat terik menyengat,
wajar dia mengucapkan terimakasih pada si penanam pohon itu. Bila seseorang
tengah menikmati alunan lagu-lagu yang mampu menyejukkan hati atau
menghiburnya, wajar dia mengucapkan
terimakasih pada komponisnya.
Nahum
Situmorang (foto) banyak menanam pohon kesejukan yang menghasilkan buah-buah
segar seiring karya musiknya yang tetap
digemari. Di sisi lain banyak penyanyi
pop dari kalangan etnik Batak maupun etnik lainnya yang meraup keuntungan,
memetik buah-buah segar karya Nahum demi
kekayaan pribadi. Namun ungkapan
terimakasih dari sejumlah penyanyi dan musisi yang meraup banyak keuntungan
materi itu, nyaris tak terdengar. Pusara Nahum Situmorang hingga kini masih
tetap berada di balik debu dan deru
suara hingar bingar kenderaan kota Medan. Keadaan ini menunjukkan suatu fenomena ketidakpedulian. Pada hal,
Nahum senantiasa menanti jawaban atas harapan yang mengiinginkan
pusaranya dipindahkan ke bonapasogit (kampung halaman) di Pulau
Samosir sebagaimana terpatri di dalam lagu berjudul, Pulo Samosir..
“Molo marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si udeanku, sarihonma”. (Artinya, jika nanti aku mati, camkanlah bahwa jasadku akan kau makamkan di Pulau Samosir, di sanalah pusaraku). Benarkah ?
Sejarah atau riwayat hidup orang penting
cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu pula halnya dengan
biografi dan berbagai anekdot para komponis legendaris, menjadi sangat menarik
karena popularitasnya. Hal ini dapat menjadi cerminan, dan menjadi suatu
kontribusi yang sangat berarti terhadap perkembangan apresiasi musik, pemberi
warna terhadap kepustakaan musik
dunia. Ragam informasi tentang riwayat
komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatifnya yang meliputi
berbagai fenomena sosiomusikologis pada masa tertentu, termasuk perkembangan
teknik berkomposisi serta teknik bermain musik yang mencakup berbagai aspek
yang merupakan bagian dari elemen musik.
Dari sejumlah komponis legendaris dari tanah Batak, salah satu di antaranya adalah Nahum
Situmorang, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Pebruari 1908. Sejak kecil bakat musiknya telah terlihat.
Tahun 1924 Nahum melanjutkan sekolahnya
di Kweek School Jakarta, kemudian pindah ke Lembang, Bandung dan tamat
tahun 1928.
Rasa kerinduan dan kecintaannya pada kampung halaman (bonapasogit),
yakni kawasan danau Toba yang mengelilingi pulau Samosir dengan segala
pesona keindahannya, serta siklus kehidupan keseharian masyarakatnya, menjadi
sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya bagi Nahum dalam berkarya. Lagu-lagu
Nahum menjadi sangat populer baik di kalangan etnik Batak Toba, skala nasional,
maupun mancanegara. Deretan judul
lagu-lagu itu di antaranya, O Tao Toba, Lissoi, Pulo Samosir, Sitogol, Unang
Sumolsol Dipudi, Molo Borngin Di Silindung, Beha Pandundung Bulung, Anakhonhido
Hamoraon di Au, Huandung Ma Damang, Sai Tudia Ho Marhuta, Silindung Najolo, Sai
Gabe Maho, Sapatani Napuran, Tumagon Nama Mate, Ala Dao, Molo Sautma Ho Lao tu
Nadao, Holongni Rohamdo Sinta-sinta di Au, Ndada Tartangishon, Si
Singamangaraja, Timbo Dolok Martimbang, Alani Ho, Manukni Silangge, Situmorang
Nabonggal, dan masih banyak lagi hingga berkisar 120 lagu.
Ternyata aktivitas Nahum tidak terbatas pada kegiatan
musik. Pada tahun 1928, Nahum ikut dalam
barisan Perintis Kemerdekaan sebagai anggota pada Kongres Pemuda,
dan pada tahun yang sama mengikuti Lomba Cipta Lagu Kebangsaan Indonesia yang
pada masa itu dimenangkan oleh WR. Soepratman. Lagu karya Nahum berada di
posisi runner up (urutan ke dua) dari sejumlah peserta lomba. Kemudian tahun 1929, Nahum pindah ke Sibolga,
bekerja sebagai guru di Bataksche Studiefond hingga tahun 1932. Pada
tahun yang sama Nahum pindah ke Tarutung dan mendirikan sekolah yang diberi
nama, Wester Langer Onderwijs.
Sekolah ini hanya bertahan hingga kedatangan tentara Jepang tahun
1942. Sepanjang hayatnya Nahum
Situmorang tidak mau bekerja sebagai pegawai pada pemerintahan Belanda, kendati
peluang untuk itu terbuka lebar. Nahum
dikenal sebagai seorang yang berjiwa nasionalis dengan sikap kemandirian yang
kuat.
Di sela-sela kehidupannya sebagai seorang guru, Nahum
tetap kreatif menciptakan lagu-lagu dalam berbagai ragam irama. Tahun 1936, Nahum menjadi pemenang dalam
Lomba Cipta Lagu, Sumatera Kerontjong Concours yang diselenggarakan di
Medan. Tahun 1949, Nahum pindah ke Medan,
di sini ia lebih leluasa untuk bernyanyi dan berkarya. Dalam pergaulan
sehari-hari Nahum dikenal memiliki pribadi yang sangat luwes dan sangat
digemari di lingkumgan pergaulannya karena didukung oleh kepiawaiannya bermain
musik dan bernyanyi.
Lagu berjudul, Lissoi diciptakannya saat menikmati
minuman tradisional Batak Toba (tuak) yaitu, minuman berkadar alkohol
yang bersumber dari kelapa. Minuman tersebut setiap hari atau malam dihidangkan
di Pakter Tuak (warung minuman tuak). Dalam situasi keramaian seperti itu,
Nahun sanggup mengubah lagu berikut syair dengan kualitas komposisi yang sangat
mengagumkan. Lagu Lissoi yang diciptakan dalam suasana keramaian
diantara parmitu ( parminum tuak) yang berarti peminum tuak merupakan
salah satu karya Nahum yang sangat populer hingga sekarang, bukan saja di
kalangan masyarakat Batak, akan tetapi merambah keseluruh lapisan masyarakat
bahkan ke manca negara.
Sekitar tahun 1950-an, Nahum Situmorang mendirikan grup
musik yang disebutnya dengan Nahum’s Band. Grup ini pada umumnya
membawakan lagu-lagu karya Nahum. Nahum’s Band sangat populer di
kalangan masyarakat Batak. Pada masa itu mereka banyak mendapat tawaran untuk
mengisi acara-acara hiburan di kalangan masyarakat maupun di berbagai instansi
pemerintahan. Pada tahun 1960, Nahum’s
Band mengadakan serangkaian
pertunjukan musik di Jakarta. Dalam
setiap pertunjukan mereka mendapat sambutan yang sangat meriah terutama dari
kalangan komunitas Batak Toba yang bermukim di Jakarta. Nahum’s Band banyak mendapat pujian
dan sanjungan dari para pejabat pemerintahan dan dari orang asing (anggota
kedutaan) dari berbagai negara yang menyaksikan konser Nahum’s Band.
Kendati orang-orang asing tersebut tidak mengetahui makna syair (teks) lagu,
namun mereka sangat meresapi komposisi musiknya. Dari rangkaian konser
tersebut, banyak tawaran agar Nahum’s Band mengadakan konser musik di
berbagai negara, tetapi karena sesuatu hal tawaran itu tidak terlaksana.
Kehidupan Nahum Situmorang tidak sesukses
lagu-lagunya. Nahum gagal dalam bercinta,
sang kekasih yang sangat dicintainya jatuh kepelukan pria lain. Kegagalan ini menjadi beban berat dan
menyakitkan bagi Nahum, ia bertekat
untuk tidak bercinta lagi. Tragedi ini dilukiskan oleh Nahum dalam lagu berjudul,
Sai Gabema Ho, Sapatani Napuran, Ala Dao, Molo Sautma Ho Lao Tu Nadao. Deretan lagu-lagu ini merupakan jeritan hati Nahum atau gambaran cintanya
terhadap kekasih yang berpaling itu. Nahum tetap melajang di sepanjang
hidupnya.
Lagu-lagu karya Nahum Situmorang tersebar luas ke seluruh
penjuru tanah air bahkan ke mancanegara melalui penyiaran Radio Republik
Indonesia (RRI), dari sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1970-an. Volume penyiaran lagu-lagu Nahum mendapat
porsi yang besar. Pada masa itu Nahum
Situmorang telah merekam lagu-lagunya dalam bentuk Piringan Hitam (PH) di
studio rekaman Locananta Indonesia dan studio rekaman Polydor Amerika
Serikat, bahkan sebagian lagu-lagunya di terjemahkan dalam bahasa Jerman yang
kemudian direkam dalam bentuk PH.
Kreativitas dan produktifitas Nahum dalam menciptakan
lagu-lagu mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Nahum mendapat penghargaan sebagai komponis
nasional. Selain itu berbagai piagam
penghargaan telah diterima Nahum Situmorang dan penghargaan terakhir yang
diterimanya adalah Anugerah Seni dari pemerintah pada tanggal 17 Agustus
1969. Dua bulan kemudian, tepatnya
tanggal 20 Oktober 1969 Nahum
meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Karya-karya emasnya menjadi harta karun
yang tiada habisnya, menjadi rebutan di kalangan penyanyi Batak.
Hampir seluruh album rekaman pop Batak, mulai dari
penyanyi Eddy Silitonga, Victor Hutabarat,
Rita Butarbutar, Emilia Contesa, Trio Lasidos, Jack Marpaung, Charles
Simbolon, Trio Maduma dan sederetan penyanyi pop Batak lainnya selalu
menyertakan karya Nahum Situmorang. Deretan
penyanyi ini telah banyak meraup keuntungan yang sangat besar atas karya-karya
besar Nahum. Namun tida terlintas di
benak mereka akan keinginan Nahum semasa hidupnya yang jelas berkata, “Molo
marujungma muse ngolungku sarihonma, anggo bangkekku di si tanomonmu, di si
udeanku, sarihonma”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar